Perkembangan akuakultur tidak hanya menjadi cermin dari inovasi teknologi modern, tetapi juga dipandu oleh prinsip-prinsip ilmiah yang mendalam. Budidaya ikan, kerang, dan biota air lainnya telah menjadi bagian integral dari upaya manusia untuk menyediakan protein hewani secara efisien. Salah satu dasar ilmiah yang mendasari praktik ini adalah pemahaman tentang karakteristik hewan poikilothermic (berdarah dingin), terutama ikan. Dikarenakan kebutuhan energi yang relatif rendah untuk pemeliharaan suhu tubuh dan aktivitas fisik, ikan dapat memanfaatkan lebih banyak energi untuk pertumbuhan. Hal ini menghasilkan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dan produksi yang lebih besar per satuan luas, dibandingkan dengan hewan berdarah panas. Begitu juga dengan kerang yang termasuk jenis filter feeder, yang menghabiskan energi yang sangat sedikit untuk mendapatkan makanan mereka.
Sejarah Akuakultur
Sejarah praktek akuakultur merujuk pada perjalanan panjang budidaya ikan yang terdokumentasi di Asia, Mesir Kuno, dan Eropa Tengah. Sejarah budidaya ikan di Mesir dapat ditelusuri kembali hingga tahun 2500 SM, dengan bukti-bukti yang menunjukkan budidaya ikan nila. Di zaman Romawi dan Abad Pertengahan, kolam-kolam penyimpanan ikan sidat dan ikan lainnya sudah ada. Bahkan, ukiran di makam Mesir kuno juga menggambarkan orang sedang memancing ikan nila di kolam buatan.
Bangsa Sumeria juga berkontribusi dengan membangun kolam ikan pertama sekitar 4000 tahun yang lalu. Di antara bangsa Romawi, budidaya ikan bukan hanya untuk tujuan praktis, tetapi juga untuk pertunjukkan. Red Mullets menjadi favorit karena perubahan warnanya yang memukau sebelum dimasak. Marcus Terentius Varro (116-27 SM) mencatat dua macam kolam ikan: yang pertama dikelola untuk sumber makanan dan keuntungan, sementara yang kedua dimiliki oleh bangsawan kaya untuk hiburan.
Tidak hanya itu, masyarakat Romawi juga mulai mengeksplorasi metode budidaya ikan yang lebih maju. Mereka mengembangkan teknologi pembuahan telur ikan secara eksternal dan mentransportasinya ke lokasi budidaya lainnya. Dengan demikian, sejarah praktek akuakultur bukan hanya tentang pengembangan teknologi, tetapi juga merupakan gambaran dari hubungan manusia dengan sumber daya alam yang telah berlangsung selama ribuan tahun. Dari zaman kuno hingga masa modern, praktik akuakultur terus berkembang, membawa manfaat bagi kesejahteraan manusia dan konservasi lingkungan.
Pada buku “The Classic of Fish Culture” yang dipercaya ditulis sekitar 500 SM oleh Fan Lie, mencatat bahwa budidaya ikan secara komersial sudah ada di China pada saat itu. Tulisan-tulisan kemudian oleh Chow Mit dari Dinasti Sung pada tahun 1243 M dan Heu pada tahun 1639 M memberikan gambaran rinci tentang koleksi benih ikan mas dari sungai-sungai dan metode pembesaran di kolam-kolam. Budidaya ikan mas (Cyprinus carpio) merupakan bentuk paling awal dari akuakultur di China, dan ikan ini kemudian diperkenalkan ke beberapa negara di Asia dan Timur Jauh serta Eropa selama Abad Pertengahan.
Namun, pada abad ke-6 M, popularitas ikan mas di China menurun karena nama “Lee” dalam bahasa China identik dengan nama kaisar Dinasti Tang. Hal ini membuat orang lokal enggan untuk memelihara atau mengkonsumsi ikan mas. Sebagai alternatif, spesies ikan mas lainnya seperti grass-carp, silver-carp, bighead-carp, dan mud-carp diperkenalkan dan dibudidayakan. Sistem budidaya ini kemudian melahirkan praktik polikultur.
Teruslah menggali pengetahuan dengan membaca artikel referensi lainnya di situs ini:
- Pengertian Akuakultur: Jenis dan Manfaatnya
- Pengertian Akuarium, Sejarah, Manfaat dan Jenisnya
- Pengertian Ikan Hias, Jenis, dan Manfaatnya
Di India, budidaya India carp mulai berkembang pada abad ke-11 M di bagian timur subkontinen India. Budidaya ikan koi di Bengal, India, juga menjadi asal sejarah budidaya ikan di negara ini. Dokumen sejarah pada tahun 300 SM juga menunjukkan adanya budidaya ikan di beberapa waduk di India. Sedangkan untuk budidaya catfish, awalnya dimulai di negara Kamboja dan kemudian ditiru di Indonesia dan Thailand dengan ikan mas dan Pangasius sp. Budidaya sidat sendiri berawal di Jepang.
Di sisi budidaya laut, bentuk awal dari budidaya tiram kemungkinan dimulai sejak zaman Romawi (sekitar 100 SM) dan Yunani. Jepang juga menjadi salah satu negara pionir dalam budidaya tiram sekitar 2000 tahun yang lalu. Selain itu, Jepang juga diakui sebagai pelopor dalam budidaya rumput laut. Buku teks yang diterbitkan di Jepang pada tahun 1952 telah menggambarkan praktek budidaya rumput laut di negara tersebut. Setelah Perang Dunia II, jenis-jenis rumput laut yang dapat dimakan seperti kombu, wakame, dan nori menjadi fokus budidaya yang luas dan intensif di Korea, Taiwan, China, dan Jepang.
Budidaya air payau, khususnya di Asia Tenggara, memiliki sejarah yang menarik. Di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, praktik ini telah ada sejak abad ke-15 Masehi, dengan ikan bandeng dan spesies ikan lainnya yang dibudidayakan di tambak. Pengaruh hukum agama Hindu diduga menjadi salah satu faktor pendorong berkembangnya budidaya air payau ini.
Penutup
Dengan demikian, sejarah praktek akuakultur mencatat perjalanan panjang dan beragam dari berbagai budaya, yang membawa kita ke era modern ini di mana praktik akuakultur terus berkembang dan memberikan kontribusi penting bagi pasokan pangan dunia.